Sayyid Sulaiman merupakan keturunan dari Sayyid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkenal di Hadramaut, Yaman. Nama "Syaiban" diberikan kepada Sayyid Abu Bakar karena rambutnya yang beruban seperti salju setelah uzlah (menarik diri untuk mendekatkan diri kepada Allah) selama sekitar tiga puluh tahun.
Abdurrahman, yang merupakan cicit dari Sayyid Abu Bakar Basyaiban, adalah putra sulung dari Sayyid Sulaiman. Ia lahir pada abad ke-16 Masehi di Tarim, Yaman Selatan, sebuah daerah yang terkenal sebagai pusat spiritual para wali.
Setelah berlayar dari Yaman ke Nusantara, khususnya Pulau Jawa, Sayyid Abdurrahman memilih untuk menetap di Cirebon, Jawa Barat. Di sana, ia menikahi putri Maulana Sultan Hasanuddin, yang juga merupakan keturunan Rasulullah.
Dari pernikahannya dengan Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, Sayyid Sulaiman memiliki tiga orang putra: Sayyid Sulaiman, Sayyid Abdurrahim (dikenal sebagai Mbah Arif Segoropuro Pasuruan), dan Sayyid Abdul Karim.
Keluarga ini mewarisi ketekunan dalam berdakwah dan berjuang untuk menyebarkan Islam di Jawa, mirip dengan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh besar seperti Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda merasa khawatir. Ketika Sayyid Sulaiman mencapai usia dewasa, Belanda membuangnya. Ia kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah, sebelum berkelana ke Solo, Jawa Tengah, di mana ia dikenal sebagai sosok yang sangat sakti.
Saat tinggal di Solo, Sayyid Sulaiman diundang oleh Raja Mataram untuk memperagakan pertunjukan ajaib. Setelah menghadapi tantangan Raja Mataram, Sayyid Sulaiman berhasil membuktikan kesaktiannya dengan melakukan pertunjukan yang luar biasa.
Setelah berbagai perjalanan, Sayyid Sulaiman akhirnya menetap di Kanigoro, Pasuruan, Jawa Timur. Di sana, ia mendirikan masjid dan terkenal dengan keajaibannya dalam memindahkan kayu besar dari hutan untuk digunakan sebagai bahan bangunan masjid.
Kemudian, kabar tentang kesaktian Sayyid Sulaiman menarik perhatian Raja Keraton Pasuruan. Meskipun awalnya meragukan, Raja Pasuruan akhirnya menyadari kehebatan Sayyid Sulaiman ketika beliau membantu mengembalikan putri bungsu sang Raja yang hilang. Namun, Sayyid Sulaiman menolak tawaran Raja Pasuruan untuk menikahi putrinya.
Sayyid Sulaiman akhirnya meninggalkan Pasuruan dan kembali ke Cirebon. Namun, situasi di Cirebon saat itu sedang tidak stabil akibat pertikaian antara Sultan Ageng Tirtayasa dan putranya, Sultan Haji. Karena itu, Sayyid Sulaiman memutuskan untuk kembali ke Pasuruan, di mana ia memimpin pembangunan masjid di Gambir Kuning.
Sayyid Sulaiman juga pernah dipanggil oleh Raja Mataram Solo, tetapi setelah konsultasi dengan istri dan masyarakatnya, ia menolak tawaran untuk menjadi hakim di Keraton Solo. Setelah kembali ke Pasuruan, Sayyid Sulaiman meninggal dunia di tengah perjalanan ke Jombang, tepatnya di Desa Betek Kabupaten Jombang Jawa Timur.
0 Komentar